Tujuan hidup manusia menurut Weda adalah kebahagiaan
yang di dalamnya tekandung makna kesejahteraan, ketertiban, keselamatan
dan kebebasan. Secara khusus tujuan hidup ini dirumuskan sebagai Catur
Purusaartha, yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Untuk mencapai tujuan
ini Weda menekankan pada upaya-upaya ritual (karmakanda). Upanisad
lebih menekankan pada pencapaian kebebasan individu (jivanmukti) melalui
jnana yoga, khususnya pengetahuan tentang Brahman dan atman. Bagawad
Gita menjadikan ketertiban dan kesejahteraan masyarakat (lokasamgraha)
yang dicapai melalui karmayoga sebagai ajaran sentralnya. (Narayan
Champawat).
Lampiran : Keputusan Pesamuhan Agung Parisada
Hindu Dharma Indonesia
Nomor: 4 /Kep/P.A. Parisada/XII/2003
Tanggal : 14 Desember 2003
Tentang : Lokasamgraha (Kesejahteraan Umat Hindu)
Nomor: 4 /Kep/P.A. Parisada/XII/2003
Tanggal : 14 Desember 2003
Tentang : Lokasamgraha (Kesejahteraan Umat Hindu)
LOKASAMGRAHA
(Kesejahteraan
Umat Hindu)
"Adalah kewajiban bagi
setiap orang untuk mendedikasikan (membaktikan) hidupnya, intelejensi
(kepandaiannya), kekayaannya, kata-katanya, dan pekerjaannya bagi
kesejahteraan mahluk lain"
(Bhagawata
Purana : 10.22.35)
Latar belakang :
Tujuan hidup manusia menurut Weda adalah kebahagiaan
yang di dalamnya tekandung makna kesejahteraan, ketertiban, keselamatan
dan kebebasan. Secara khusus tujuan hidup ini dirumuskan sebagai Catur
Purusaartha, yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Untuk mencapai tujuan
ini Weda menekankan pada upaya-upaya ritual (karmakanda). Upanisad
lebih menekankan pada pencapaian kebebasan individu (jivanmukti) melalui
jnana yoga, khususnya pengetahuan tentang Brahman dan atman. Bagawad
Gita menjadikan ketertiban dan kesejahteraan masyarakat (lokasamgraha)
yang dicapai melalui karmayoga sebagai ajaran sentralnya. (Narayan
Champawat).
Dr. Sarvepalli Radhakrishnan
mengartikan lokasamgraha sebagai : "The maintenance of the world,
stands for the unity of the world, the interconnectedness of society"
(pemeliharaan dunia, berarti kesatuan dunia, kesalingterhubungan antar
masyarakat"). Supaya dunia tidak jatuh ke dalam penderitaan phisik dan
degradasi moral, supaya kehidupan bersama menjadi pantas dan terhormat,
etika agama seharusnya mengontrol perilaku sosial.
Lokasamgraha, secara umum berarti "kesejahteraan
bagi semua" (universal well-being). Di dalam keputusan ini
Lokasamgraha, "Kesejahteraan bagi semua", lebih difokuskan kepada
kesejahteraan bagi semua pemeluk Hindu. Pemeluk Hindu merupakan bagian
dari masyarakat dunia. Tidak mungkin tercapai ketertiban dan
kesejahteraan dunia, bila salah satu bagiannya, dalam hal ini para
pemeluk Hindu, tidak sejahtera. Sejahtera disini dimaksudkan suatu
keadaan dimana para pemeluk Hindu mencapai taraf hidup yang layak, bebas
dari kemiskinan, material maupun spiritual.
Lokasamgraha
adalah ideal masyarakat Hindu. Lokasamgraha mengisyaratkan, adanya
kesadaran sosial dari masing-masing pemeluk Hindu, bahwa pencapaian
masyarakat yang sejahtera, masyarakat yang bebas dari kemiskinan
material maupun spiritual, memerlukan adanya kesetiakawanan,
solidaritas, saling tolong menolong, (bahasa Bali "salunglung
sabayantaka"), atau kesalingterhubungan dari seluruh pemeluk Hindu.
Kesadaran, solidaritas sosial dan kesalingterhubungan
ini melintasi klan, soroh, marga, dadia, padarman, suku bangsa. Dengan
kata lain, setiap pemeluk Hindu, dimanapun dia berada, apapun klan,
marga atau suku bangsanya adalah saudara bagi pemeluk Hindu lainnya.
Penderitaan seorang pemeluk Hindu, adalah juga penderitaan bagi pemeluk
Hindu lainnya. Kebahagiaan bagi seorang pemeluk Hindu adalah juga
kebahagiaan bagi pemeluk Hindu lainnya. Solidaritas keumatan ini, dalam
masyarakat Hindu di Bali disebut "suka duka". Konsep, norma, dan
nilai-nilai suka-duka, perlu diperluas, tidak hanya menyangkut hal-hal
yang berkaitan dengan ritual atau upakara, tetapi juga meliputi bidang
lain, seperti misalnya bidang ekonomi dan pendidikan. Dan tidak hanya
bagi pemeluk Hindu yang berasal dari suku Bali, tapi mencakup seluruh
pemeluk Hindu di Indonesia, apapun sukunya.
Bagaimana
keadaan kita dewasa ini? Kalau kita melihat hasil sensus penduduk sejak
tahun 1980 sampai tahun 2000, kita dapat menarik kesimpulan, diantara
umat beragama di Indonesia SDM Hindu adalah yang paling lemah. Dari
tahun ketahun, tingkat buta huruf umat Hindu adalah yang paling tinggi.
Untuk sensus tahun 1980 tingkat buta huruf pemeluk Hindu adalah 38%,
sensus tahun 1990 sebesar 25% dan tahun 2000 sebesar 16,9%, dengan
rincian tingkat buta huruf untuk perempuan Hindu adalah 23,2% dan
laki-laki adalah 10,4%.
Kenyataan di atas
menunjukkan bahwa tingkat ekonomi pemeluk Hindu juga rendah, terbukti
banyak dari mereka yang tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka. Dan
seperti lingakran setan, karena pendidikannya rendah, umat Hindu tidak
mampu menjadi manusia kreatif yang diperlukan untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Sementara di sisi lain, ada umat Hindu, baik secara individu,
maupun kelompok serng membuat upacara-upacara besar dengan biaya mahal.
Dari sudut padang agama lalu menimbulkan pertanyaan :
apakah para pemeluk Hindu hanya mencari keselamatan bagi diri atau
keluarganya masing-masing? Tidakkah agama Hindu memiliki ajaran tentang
etika sosial, norma atau ajaran yang mendorong pemeluknya untuk ikut
memikirkan dan membantu keselamatan, kesejahteraan sesama umat Hindu, di
luar batas klan dan marganya?
Doktrin
Etik Hindu .
Doktrin-doktrin etik (ethical
doctrines) pemeluk Hindu didasarkan atas ajaran Upanishad dan
pustaka suci tingkat kedua lainnya, seperti Smerti, Itihasa dan Pruana
lainnya, yang semuanya bersumber pada otoritas Weda. Sekalipun
penekannya pada etika subyektif, Upanisad tidak menolak nilai-nilai dari
etika sosial. Misalnya disebutkan : "Seperti bau (harum) yang yang
diterbangkan sampai jauh dari sebatang pohon yang dipenuhi bunga,
demikian juga aroma perbuatan baik tercium sampai jauh." Beberapa dari
kebajikan sosial (social virtues) ini adalah antara lain
"keramahan terhadap tamu (hospitality), sopan santun (courtesy),
dan kewajiban pada istri, anak-anak dan para cucu". Dalam salah satu
Upanisad disebutkan, seorang raja, ketika menjawab pertanyaan seorang
Reshi mengenai keadaan negaranya, mengatakan : "Di dalam negara saya
tidak ada pencuri, orang kikir, pemabuk, tidak ada orang yang tidak
memiliki tempat pemujaan di rumahnya, tidak ada orang bodoh, tidak ada
lelaki yang melakukan gamya, apalagi perempuannya."
Tindakan-tindakan etik yang dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial diperintahkan kepada siapa saja yang
mengidentifikasikan dirinya dengan dunia dan sadar akan tanggung jawab
sosial mereka. Tanpa pengendalian etika, akan terjadi kekacauan, yang
akan merusak pengembangan kebajikan spiritual. Menurut Upanisad, para
dewa, yang merupakan penjaga dari masyarakat, menaruh halangan di jalan
orang-orang yang mencari kebebasan dari samsara, atau dunia relatif ini
tanpa terlebih dahulu melaksanakan tugas dan kewajiban sosial mereka.
Setiap manusia normal yang dianugrahi dengan kesadaran
sosial (social consciousness) mempunyai paling sedikit tiga
kewajiban untuk dilakukan : membayar hutang kepada Tuhan dan para dewa;
kepada para Rsi, dan kepada para leluhur.
Pelaksanaan
dari etika sosial, dalam ukuran yang luas, telah melindungi masyarakat
Hindu dari serangan yang berupaya menghancurkannya. Sebaliknya
pengabaian dari etika sosial, telah melemahkan vitalitas dari masyarakat
Hindu. (Swami Nikhilananda : An Essey on Hindu Ethics).
Keadilan dan Kesejahteraan Sosial
Bahkan filosofi Hindu Wedanta mengandung ajaran
tentang keadilan sosial. Advaita Wedanta, yang bersifat monisme,
menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah Tuhan. Sesuai dengan
filosofi ini Tuhan adalah lautan dan jiwa individu adalah ombak dari
lautan, yang memiliki identitas sementaranya sendiri, tapi tetap sebagai
bagian dari lautan. Sesuai dengan filosofi lainnya, Dwaita, atau
dualisme, Tuhan dan manusia adalah terpisah; manusia seperti kendi tanah
yang diisi air yang diambil dari lautan yang sama adalah Tuhan. Esensi
dari hidup- prinsipnya atau kesadaran dari tiap orang adalah sama.
Kedua konsep ini akan menghasilkan kesadaran bersama
yang membuat kita empati terhadap penyakit dan penderitaan orang lain.
Karena kita tidak saja identik, tetapi sama dengan orang lain. Oleh
karena itu kita seharusnya tidak segan untuk menolong orang lain.
Tetapi ada perbedaan yang lebar antara ide utama dari
filosofi Hindu dan tingkah laku sosial Hindu. Jurang yang lebar antara
si kaya dan miskin, dan orang kaya yang tak berperasaan kepada si miskin
berlawanan dengan prinsip dari filosofi Hindu. Demikian juga membuat
upacara besar dengan biaya mahal, sementara kita acuh tak acuh dengan
umat Hindu lain yang tidak mampu, adalah berlawanan dengan filosofi
Hindu
Pada setiap zaman, orang suci Hindu membuat
sekolah untuk mengajarkan tekniknya sendiri untuk mencapai
realisasi-diri, dengan yoga dan meditasi sebagai jalannya. Beberapa
orang melayani orang miskin, sakit, dan yatim piatu. Jika kita semua
ikut ambil bagian dalam hal ini, perbaikan ini tak berarti tanpa
perbaikan secara menyeluruh. Bagaimana mungkin pundak kita bebas jika
kaki kita masih terbenam di bumi ini?
Tanggung
jawab sosial harus menjadi bagian dari filosofi Hindu. Setiap umat Hindu
harus empati terhadap kebutuhan orang lain, karena merupakan bagian
dari yang lainnya; sebenarnya mereka merupakan bagian dari Tuhan yang
sama. Swami Dayananda Saraswati, pendiri dari Arya Samaj, sebuah gerakan
pembaharu Hindu di abad 19, menempatkan kegiatan sosial sebagai bagian
dari 10 prinsip yang beliau inginkan agar diikuti oleh semua umat Hindu.
Tak ada seorang pun, kata beliau, harus bahagia dengan niat baiknya
sendiri, tapi harus lebih berjuang untuk kebaikan bersama.
Swami mengatakan bahwa yoga, penyatuan dengan Tuhan, dan
yadnya, korban suci, adalah pilar kembar agama Hindu. Beliau
menyarankan agar semua umat Hindu melakukan lima jenis korban suci
setiap hari: dua untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan realisasi-diri dan
tiga untuk yang lainnya – untuk orang tua, tamu dan orang lainnya,
persediaan untuk hidup dan lingkungan (Vidya Bhusan Gupta)
Lokasamgraha : perkembangan konsep.
Perobahan dalam tekanan ajaran Weda kepada Upanisad
tidak bisa dipahami secara mudah karena perhatian utama dari tapa
Upanisad adalah jivanmukti dan moksha untuk pribadi. Bereaksi terhadap
keprihatinan sosial dan filosofi tertentu pada akhir millennium pertama
sebelum zaman bersama (common era (ce), atau abad masehi)
Bagawad Gita mengadopsi satu sikap sintesis dan kompormistis dan
melegitimasi karma yoga tanpa mengesampingkan ajaran-ajaran mulia Hindu
yang lainnya. Para penafsir modern dari Bagawad Gita seperti
Vivekananda, Tilak, Sri Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave, Pandurang
Shastri dan banyak lainnya lagi telah berpaling pada filosofi
Lokasamgraha dan karma yoga dari Bagawad Gita untuk menjawab problem dan
tantangan dari India modern. Membuktikan bahwa Bagawad Gita adalah sarvajanahitaparam
shastram, sebuah kitab suci yang memperhatikan atau memberikan
perhatian kepada setiap orang.
Bagawad Gita
mengatakan : "saktah karmany avidavamso yatha, khurvanti bharata,
kuryad vidvams tathasaktas cikirsur loka-samgraham" (Bagawad Gita :
III.25). artinya : "Seperti orang yang bodoh yang bekerja keras karena
keterikatan atas kerja mereka demikian seharusnya orang pandai bekerja
tanpa kepentingan pribadi, melainkan untuk kesejahteraan manusia dan
memelihara ketertiban sosial."
Dr. Sarvepalli
Radhakrishnan menyebutkan bahwa tujuan dari agama adalah untuk
menyepiritualkan masyarakat dalam rangka membangun persaudaraan di atas
bumi ini. Veda meneguhkan kehidupan, seperti dalam mantra:
Sarve bhavantu sukhinah,
Sarve
santu nirmayah,
Sarve bhadrani pasyantu
Ma kaschit duka bhag bhavet,
Om loka
samasta sukhino bhawantu.
artinya:
Semoga semua hidup bahagia, semoga semua menikmati
kesehatan yang baik, Semoga semua mendapat keberuntungan, semoga tiada
seorangpun mengalami kesedihan, Semoga damai dimana-mana.
Mantra ini menekankan bahwa keselamatan pribadi bukanlah
satu-satu tujuan, tetapi bahwa kesejahteraan mayarakat, terutama
masyarakat para pemeluk Hindu, adalah sama pentingnya bahkan jauh lebih
penting.
Dunia dewasa ini tidak bisa dianggap
sebagai maya atau ilusi tapi sebagai suatu yang sangat nyata, dimana
penderitaan dan kesedihan adalah fakta kehidupan, dan bahwa dunia
penderitaaan dan kesedihan tidak dapat diabaikan dalam pengejaran moksha
pribadi. Swami Vivekananda menyebut Tuhan sebagai daridra narayan menyatakan
dengan sangat jelas prinsip-prinsip dari neo-Vedanta karena ia percaya
bahwa konsep-konsep mulia dari Advaita Vedanta haruslah tersedia bagi
mahluk yang paling lemah dan paling sederhana, dan oleh karenanya ini
akan memberikan agama Hindu wawasan yang lebih universal.
Sarasamuccaya menyebutkan : "dhaarmarthamkammamoksanam
pranah samsthiti hetavah tan nighnata kin na hatam raksa bhutahitartha
ca" (Sarasamuccaya : 135). Artinya : oleh karenanya usahakanlah
kesejahteraan makhluk itu jangan tidak menaruh belas kasihan kepada
segala makhluk, karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjamin
tegaknya catur purushaarta, empat tujuan hidup, yaitu dharma, artha,
kama dan moksha; jika mau mencabut nyawanya mahkluk betapa itu tidak
musnah olehnya; demikianlah orang yang menjaga kesejahteraan makhluk
itu, dia itulah yang disebut menegakkan catur warga (catur purusharta);
dinamakan abhutahita, jika sesuatunya itu tidak terjaga atau terlindungi
olehnya.
Selanjutnya Sarasamuccaya mengatakan :
"dhanani jivitam caiva parrthe prajna utsrajet, sannimittam varam tyago
viase niyate sati" (Sarasamuccaya : 175). Artinya : "Maka tindakan orang
yang tinggi pengetahuannya, tidak sayang merelakan kekayaannya bahkan
nyawanya sekalipun, jika untuk kesejahteraan umum; tahulah dia bahwa
kematian pasti datang dan tidak ada sesuatu yang kekal; oleh karena itu
adalah lebih baik berkorban demi untuk kesejahteraan umum."
Dua ribu tahun silam, Raja Bhartrihari menulis dalam
Niti Sataka : "Tanpa diminta, sinar matahari memekarkan bunga padma yang
kuncup, bulan memekarkan bunga kamalini (sejenis bunga sedap malam),
dan awan mejatuhkan hujan. Demikian pula orang yang baik menolong orang
lain atas keinginan mereka sendiri."
Orang baik
dengan keinginan sendiri selalu ingin menolong seluruh manusia,
khususnya para pemeluk Hindu, dan ia menganggap hal itu adalah
kewajibannya yang utama.
Optimalisasi
potensi untuk pengembangan mutu umat Hindu
Lokasamgraha sebagai suatu tujuan mulia dari masyarakat
Hindu, dapat diwujudkan melalui suatu proses. Dimulai dengan proses
tumbuhnya kesadaran sosial di kalangan para pemeluk Hindu, bahwa
masing-masing dari kita adalah bersaudara satu sama lain. Bahwa hakikat
diri kita sebetulnya sama. Penderitaan bagi yang satu adalah penderitaan
bagi yang lain. Kebahagiaan bagi yang satu adalah kebahagiaan bagi yang
lain.
Masyarakat Hindu yang sejahtera, adalah
merupakan jumlah total dari individu dan keluarga Hindu yang sejahtera.
Pada hakikatnya setiap individu para pemeluk Hindu, harus mampu
menciptakan kesejahteraannya sendiri, melalui karma atau tindakannya
sendiri. Dan untuk itu dia haruslah memiliki kemampuan, keahlian,
pengetahuan dan ketrampilan untuk menunjang profesinya, dengan mana ia
mencapai kesejahteraan diri dan keluarganya.
Tetapi adalah fakta juga, karena keadaan
ekonomi, banyak sekali keluarga Hindu yang tidak mampu menyekolahkan
putra-putri mereka. Dan ini membuat mereka tidak mampu keluar dari
kesulitan. Kesulitan dan kelemahan di bidang ekonomi rawan bagi fondasi
keyakinan mereka terhadap agama Hindu.
Di pihak
lain banyak dari para pemeluk Hindu yang mampu bahkan kuat secara
ekonomi, pendidikan dan status sosial. Dan mereka pada umumnya memiliki
ketulusan untuk berdana punia. Hanya saja sementara ini dana punia itu
lebih banyak untuk tujuan yadnya dalam arti tradisional, yaitu upakara
dan pembangunan tempat sembahyang.
Kini adalah
saatnya bagi kita semua untuk memperluas makna yadnya, tidak saja
pengorbanan dalam hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama
umat, berdasarkan ‘daya" (compassion atau cinta kasih) dan
‘dana’ (pemberian bantuan). Dana bukan untuk jangka pendek, atau karitas
sentimental, berupa sedekah untuk sekedar menghilangkan lapar. Dana
haruslah untuk suatu yang bersifat jangka panjang atau stategis, yaitu
untuk peningkatan kualitas SDM Hindu. Dana bukan memberi ikan, tetapi
memberi kail.
Agama yang tidak peka terhadap penyakit masyarakat
dan tidak ikut ambil bagian dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat, tidak mendapat tempat dalam masyarakat modern, tidak
menarik bagi manusia modern. ( Sarvepalli Radhakrisnan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar