Ringkasan Novel: AZAB DAN SENGSARA
AZAB
DAN SENGSARA
(KISAH
KEHIDUPAN SEORANG GADIS)
Penerbit
: Balai Pustaka
Umumnya,
para pengamat sastra Indonesia
menempatkan novel Azab dan
sengsara ini sebagai novel pertama di Indonesia
dalam khazanah kesusastraan Indonesia
modern. Penempatan novel ini sebagai novel pertama lebih banyak didasarkan pada
anggapan bahwa kesusastraan Indonesia
modern lahir tidak dari peran berdirinya Balai Pustaka. 1917, yang cikal
bakalnya berdiri tahun 1908. Sungguhpun sebenarnya tidak sedikit novel yang
terbit sebelum Balai Pustaka berdiri, dalam hal pemakaian bahasa Melayu
sekolahan, Azab dan
Sengsara yang mengawalinya. Dalam konteks itulah novel ini
menempati kedudukan penting.
Tema
Azab dan Sengsara
sendiri yang mempermasalahkan perkawinan dalam hubungan nya dengan harkat dan
martabat keluarga, bukanlah hal yang baru. Novel-novel yang terbit di luar
Balai Pustaka-yang umumnya menggunakan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu
pasar-juga banyak yang bertema demikian. Novel bahasa Sunda, Baruang ka Nu Ngora (Racun Bagi Kaum
Muda; 1914) karya D.K. Ardiwinata (1866-1947) yang diterbitkan
Balai Pustaka, juga bertema perkawinan dalam hubungannya dengan harkat dan
martabat keluarga. Jadi, secara tematik, novel Azab dan Sengsara, belumlah secara tajam
mempermasalahkan perkawinan dalam hubungannya dengan adat.
Ini
ringkasannya
Aminuddin
adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampong yang terkenal kedermawanan
dan kekayaannya. Masyarakat disekitar Sipirok amat segan dan hormat kepada
keluarga itu. Adapun Mariamin, yang masih punya ikatan dengan keluarga itu,
kini tergolong anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan Baringin almarhum, sebenarnya
termasuk keluarga bangsawan kaya. Namun, karena semasa hidupnya terlalu boros
dan serakah, ia akhirnya jatuh miskin dan meninggal dalam keadaan demikian.
Bagi
Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya unuk tetap
bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman akrab sejak kecil
dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa benih cinta kedua remaja itu
pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah
tangga. Aminuddin pun berjanji hendak mempersunting gadis itu jika kelak ia
sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat
pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat
kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke Medan .
Berita
itu tentu saja amat menggermbirakan hati Mariamin dan ibunya yang memang selalu
berharap agar kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia dapat melihat
putrinya hidup bahagia.
Niat
Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya sama sekali
tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih kakak kandungnya
sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin dengan Mariamin, perkawinan itu
dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha menolong keluarga miskin itu.
Namun,
lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala kampung
yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya beristrikan orang yang sederajat.
Menurutnya, putranya lebih pantas kawin dengan wanita dari keluarga kaya dan
terhormat. Oleh karena itu, jika Aminuddin kawin dengan Mariamin, perkawinan
itu sama halnya dengan merendahkan derajat dan martabat dirinya. Itulah
sebabbya, Baginda Diatas bermaksud menggagalkan niat putranya.
Untuk
tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi ke seorang
dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan Mariamin.
Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena sebelumnya, dukun
itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan yang tidak
menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun bahwa
Aminuddin akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan Mariamin, ibu Aminuddin
tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang menurut suaminya baik bagi
kehidupan anaknya.
Kedua
orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang menurut
Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Aminuddin yang
berada di Medan ,
sama sekali tidak mengetahui apa yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan
penuh harapan, ia tetap menanti kedatangan ayahnya yang akan membawa Mariamin.
Selepas
peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada anaknya bahwa calon
istrinya akan segera dibawa ke Medan .
Ia juga meminta agar Aminuddin menjemputnya di stasiun.
Betapa
sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. Ia pun segera
mempersiapkan segala sesuatunya. Ia membayangkan pula kerinduannya pada
Mariamin akan segera terobati.
Namun,
apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan membawa
pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun
begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adapt
negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima gadis yang
dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam
pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada Mariamin.
Bagi
Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah
sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan
kekecewaan hati gadis itu.
Setahun
setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran
Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya
hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan . Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum
beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu
Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui
bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini
Mariamin.
Kasibun
kemudian membawa Mariamin ke Medan .
Namun rupanya, penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata
mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan
suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin
berhubungan intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam
kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin
bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan
Kasibun menyiksanya dengan kejam.
Dalam
suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara kebetulan, Aminuddin
dating bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin menerimanya
dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan
Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas
kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-jadinya.
Tak
kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan
melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa
Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan
dengan Mariamin.
Janda
Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama
kemudian, penderitaay yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah
dengan kematiannya. “Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi,
berkubur dengan jasad yang kasar itu.” (hlm. 163).
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar